Pages

This is default featured slide 1 title

Easy to customize it, from your blogger dashboard, not needed to know the codes etc. Video tutorial is available, also a support forum which will help to install template correctly. By DeluxeTemplates.net

This is default featured slide 2 title

Easy to customize it, from your blogger dashboard, not needed to know the codes etc. Video tutorial is available, also a support forum which will help to install template correctly. By DeluxeTemplates.net

This is default featured slide 3 title

Easy to customize it, from your blogger dashboard, not needed to know the codes etc. Video tutorial is available, also a support forum which will help to install template correctly. By DeluxeTemplates.net

This is default featured slide 4 title

Easy to customize it, from your blogger dashboard, not needed to know the codes etc. Video tutorial is available, also a support forum which will help to install template correctly. By DeluxeTemplates.net

This is default featured slide 5 title

Easy to customize it, from your blogger dashboard, not needed to know the codes etc. Video tutorial is available, also a support forum which will help to install template correctly. By DeluxeTemplates.net

Selasa, 24 Juni 2014

konflik agraria


Konflik agraria yang melanda negeri Indonesia ini dipicu oleh dua hal, yaitu perbedaan persepsi tentang konsep penguasaan dan pemanfaatan tanah dan yang kedua yaitu pertentangan klaim yaitu kepentingan dan perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria di Indonesia, yang tak berujung kepastian.
Konflik yang pertama, yaitu pemerintah dan Negara di satu sisi dengan berbagai pembangunannya beranggapan bahwa tanah, air, dan segala kekayaan dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak untuk melakukan perubahan atas setiap tanah untuk kepentingan bersama. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, menyebutkan 64,2 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai dan diberikan oleh perusahaan kehutanan, pertambangan gas, pertambangan mineral, san batubara. Di sisi lain, masyarakatpun masih berhaluan konvensional, menganggap bahwa tanah merupakan hak milik dan alat produks, sehingga sangat wajar, jika mereka menganggap bahwa tanah merupakan gak milik dan alat produksi mereka untuk bekerja, sehingga merekapun rela mempertaruhkan nyawanya demi mempertaruhkan tanah miliknya tersebut. Dan pokok permasalahan konflik agraria yang kedua adalah pertentangan klaim yaitu kepentingan dan perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria di Indonesia, yang tak berujung kepastian. Pemerintah menganggap bahwa tanah sarana ubtuk mencapai tujuan pembangunan, seperti pabrik, sarana transportasi laut, sarana perbelanjaan, sarana hiburan dan lain sebagainya, padahal masyarakatpun masih awam dan tidak terbiasa dengan aturan perusahaan dan pemerintah. Sebaliknya, masyarakatpun  memiliki pendapat, bahwa tanah adalah segala sesuatu yang diusahanakan untuk kehidupan mereka. Nasib mereka tergantung pada tanah yang dimilikinya. Tak heran jika masyarakat gigih mempertahankan hak milik tanah mereka. Pertentangan ini sangat terkait maka perlu adanya kepastian oleh Pemerintah. Gagasan pembaruan agraria yang berujung pada keadilanlah yang diinginkan oleh masyarakat, tetapi sebaliknya, di Indonesia, konflik ini keadilan ini masih sangat lemah. Konflik Agraria di Indonesia, muncul secara diam-diam tiba-tiba meletus ke permukaan. Contohnya kasus konflik Agraria yang paling banyak terdapat di provinsi Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatra Utara.
            Konflik yang melanda Indonesia yang terjadi di provinsi, terutama di kawasan perkebunan, kehutanan, pertambangan diakibatkan oleh ulah kebijakan Pemerintah yang dengan seenak dan sewenang-wenang memberikan izin  kepada perusahaan-perusahaan, terutama sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan dengan membutuhkan lahan dan skala yang luas. Masalah terbesar yang dihadapi oleh Pemerintah hingga saat ini adalah perluasan hutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan adat istiadat, lokal, serta kelangsungan ekosistem dan lingkungan berkelanjutan. Contohnya yaitu perampasan tanah ulayat milik masyarakat Tanjumg Medang oleh pengusaha di Muara Enim dan pembabatan hutan Kemenyan milik Kemenyan Humbahas oleh PT Toba Pulp Lestari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. hal ini tak hanya ekosistem, adat istiadat yang dirampas saja, tetapi sudah termasuk ke dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah seenaknya tidak menggunakan prinsip persetujuan dini tanpa paksaan atau mekanisme seperti Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Padahal sebelumnya, masyarakatlah yang sejak awal membuka hutan, mendiami lahan-lahan garapan mereka atau tanah-tanah ulayat. Bahkan, terdapat banyak kasus berdarah karena perebutan persengketaan tanah ini, contohnya di Kabupaten Bengkalis dan Sumba Timur. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sebuah sweeping yang mencekam dan berdarah. Ada juga kasus-kasus yang diwarnai dengan bentrokan. Bentrokan ini seringkali terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun dengan aparat kepolisian. Sweeping dilakukan besar-besaran oleh aparat kepolisian dengan tujuan penangkapan, mendapatkan perlawanan dari warga, dan berakhir dengan penembakan berdarah dan penganiayaan yang sangat melanggar HAM dan sangat tak manusiawi. Konflik agraria yang terjadi terus menerus meluas karena Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan, dan konflik agraria ini terjadi ini pun tidak segera ditangani oleh Pemerintah, masyarakatlah yang menjadi korban.
            Penanganan oleh Pemerintah untuk menanggulangi konflik Agraria cenderung pasif, pemerintah justru kepada aparat kepolisian dan masyarakat. Pemerintah bersama aparat penegak hukumnya, serta perusahaan, pemimpin kampung setempat, justru melakukan pelanggaran HAM, yaitu menggunakan modus politik money. Mereka menggunakan politik ini untuk menutupi konflik agar ‘seakan-akan’ konflik selesai.
            Konflik ini akan terus terjadi dan mewarisi negara kita jika pemerintah tidak melakukan tindakan tegas, yakni antara lain :
1)      Memonitori atau membatasi perijinan untuk perusahaan di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir.
2)      Pemerintah secara tegas menghentikan penanganan konflik dengan bentuk kekerasan.
3)      Pemerintah membentuk lembaga-lembaga untuk menangani penyelesaian Konflik Agraria.
4)      Pemerintah melakukan pencabutan atau pembatalan perizinan jika ada perusahaan yang ingin menyerobot tanah, mengambil sewenang-wenang hutan, atau pelanggaran-pelanggaran HAM untuk merebut dan mendirikan perusahaan di berbagai wilayah.
5)      Pemerintah melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan di bidang SDA (Sumber Daya Alam).
6)      Pemerintah mengembalikan hasil rampasan perusahaan kepada pmasyarakat sebagai pemiliknya. Hal ini didasarkan dalam TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keterkaitan Potret Konflik Agraria di Indonesia dengan Teori-teori
            Konflik antara Pemerintah dengan masyarakat karena perbedaan kepentingan pengelolaan tanah sudah mewarnai dan memberikan corak khas tersendiri bagi lembaran sejarah Indonesia, khususnya dalam sektor agraria. Menurut saya, fenomena konflik yang terjadi di Indonesia menurut paparan yang dikemukakan oleh Widianto sesuai dengan Teori Konflik yang dikemukakan oleh Karl Mark, bahwa semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian atau kesenjangan terkait sumber-sumber agraria yang tidak lain adalah Sumber Daya Alam. Dalam memahami konflik agraria, Karl Mark mengatakan, bahwa kunci utamanya adalah kesadaran kita bahwa tanah atau Sumber Daya Alam merupakan hal yang melandasi semua aspek kehidupan manusia. Pendapat Karl Mark sangat sesuai dengan tulisam yang dipaparkan dalam jurnal Widianto. Ia menyatakan bahwa lahirnya konflik-konflik agraria dibidang kehutanan, disebabkan adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah, dan kekayaan alam lainnya. Konflik agraria di Indonesia, mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat yang mengandalkan nasib hidupnya dari tanah dan kekayaan alam. Mereka menganggap, pemerintah tidak adil dalam mengelola tanah. Pemerintah sewenang-wenang memberikan izin kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan mereka dan merampas hak milik tanah yang notabene tanah adalah jiwa masyarakat. Tanpa tanah, masyarakat tak bisa hidup, tak bisa bekerja memenuhi kebutuhan, dan dengan dirampasnya tanah, akan mengurangi tingkat pendapatan mereka. Pada sisi lain, masyarakat yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima keadilan akibat kebijakan pemerintah tersebut, kemudian mendorong semangat mereka untuk melakukan perlawanan. Menurut Widianto, konflik ini juga melanda pada masyarakat adat yang mempertahankan sumber penghidupannya melalui perusahaan pertambangan, perkebunan atau perusahaan perkayuan.  Berbagai konflik-konflik yang terjadi di Indonesia selalu disertai dengan kekerasan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Konflik yang terjadi di Indonesia ini akan menimbulkan pecah belahnya rasa kesatuan pada rakyatnya. Konflik semacam ini, di sebut dengan konflik dekstuktif.
Karl Mark menambahkan, konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis, yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya. Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah, atau tanahnya yang dirampas oleh kapitalis atau mereka yang mempunyai modal. Hal ini sangat tepat dan benar apa yang kemukakan oleh Widianto, bahwa dengan kebijakan pemerintah yang seenaknya sendiri, yang dengan seenaknya menyerobot tanah milik masyarakat, apalagi Pemerintah juga bekerja sama dengan pemimpin kampung, aparat hukum, pengusaha untuk menjalankan politik money agar masyarakat mau untuk menyerahkan tanahnya. Selain itu, bila masyarakat tidak mau untuk menyerahkan tanahnya, aparat hukum secara paksa akan meminta tanah tersebut dengan tindakan kekerasan, yaitu dengan penembakan atau pembunuhan. Hal yang dilakukan aparat hukum ini sangat tidak manusiawi.
Dalam teori Pluralisme hukum, memandang konflik agaria terjadi akibat adanya lebih, dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pihak terutama hukum adat dan hukum negara. Teori ini lebih menekankan bahwa timbulnya konflik agaria akibat adanya pertentangan pemberlakukan dua hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan hukum adat pada sisi lainnya. Sebagai contoh pada kasus-kasus tertentu adanya konflik-konflik lahan dan Sumber Daya Alam yang melibatkan masyarakat adat dan negara. Negara dalam kapasitas sebagai pemegang dan pembuat berbagai kebijakan hukum. Contohnya seperti yang diuraikan oleh Widianto, sebanyak 700 penduduk di Kabupaten Aceh Timur, tanah miliknya disengketa oleh PT. Bumi Flora. Sebanyak 700 warga menunggu kepastian verifikasi tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka.
Teori lainnya yang mendukung pemaparan dari Widianto, yaitu teori kebijakan. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tertentu dari negara, seperti kebijakan pembangunan. Dengan adanya kebijakan pembangunan tersebut, maka otomatis segala potensi atau sumber daya yang ada termasuk agraria, dan alam menjadi salah satu objek yang menjadi pertaruhan, guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya sebagai modal pembangunan. Kondisi ini membawa akibat munculnya bentuk-bentuk kapitalisme baru, yang mengerogoti lahan-lahan mata pencarian rakyat. Dan kadang  menjadikan mereka atau rakyat sebagai korban yang terusir dari tanahnya akibat kebijakan-kebijkan konsesi bagi pemliki modal besar atau investor, dalam penguasaan dan pengelolaan agraria dan Sumber Daya Alam. Seperti yang di kemukakan oleh Widianto dalam kasus Cinta Manis di Sumatera Selatan. PTPN sangat berperan sebagai produsen komoditas andalan nasional, seperti gula dan kopi. Tak heran Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN), Dahlan Iskan, yang membawahi PTPN, membela luasan wilayah PTPN ketika meletupnya kasus di Sumatra Selatan. Masyarakat merasa khawatir, jika tanah mereka di serobot oleh pihak swasta dan kehilangan pekerjaan mereka. Instalasi atau pihak lain yang mendukung penyerebotan lahan ini yaitu TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang bekerjasama dengan perusahaan swasta.
Jadi, konflik-konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan adanya ketimpangan sosial yang terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah menganggap tanah adalah sarana untuk menjadi pembangunan industri dan masyarakat harus patuh apa yang sudah menjadi kebijakan Pemerintah, namun sebaliknya, menurut perspektif masyarakat tanah adalah sesuatu yang diusahakan untuk kehidupan mereka. Mereka tidak mau menurut dengan kebijakan Pemerintah, karena tanah atau lahan mereka adalah jiwa mereka. Dengan adanya kondisi yang seperti ini, konflikpun tak terelakkan. Jika pemerintah terus-menerus membiarkan perusahaan terus menggusur tanah milik masyarakat untuk dijadikan pembangunan, konflik agraria tidak akan berakhir. Oleh sebab itu, Pemerintah secara tegas harus memberlakukan keadilan seadil-adilnya kepada rakyat, dan membatasi perizinan kepada perusahaan untuk mendirikan usahanya di lahan milik masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar