Selasa, 24 Juni 2014
konflik agraria
08.21
No comments
Konflik agraria yang melanda negeri Indonesia ini dipicu oleh dua
hal, yaitu perbedaan persepsi tentang konsep penguasaan dan pemanfaatan tanah
dan yang kedua yaitu pertentangan klaim yaitu kepentingan dan perbedaan sistem
penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria di Indonesia, yang tak
berujung kepastian.
Konflik yang pertama, yaitu pemerintah dan Negara di satu
sisi dengan berbagai pembangunannya beranggapan bahwa tanah, air, dan segala
kekayaan dikuasai oleh negara, karena itu mereka berhak untuk melakukan
perubahan atas setiap tanah untuk kepentingan bersama. Menurut data Konsorsium
Pembaruan Agraria, menyebutkan 64,2 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai dan
diberikan oleh perusahaan kehutanan, pertambangan gas, pertambangan mineral,
san batubara. Di sisi lain, masyarakatpun masih berhaluan konvensional,
menganggap bahwa tanah merupakan hak milik dan alat produks, sehingga sangat
wajar, jika mereka menganggap bahwa tanah merupakan gak milik dan alat produksi
mereka untuk bekerja, sehingga merekapun rela mempertaruhkan nyawanya demi
mempertaruhkan tanah miliknya tersebut. Dan pokok permasalahan konflik agraria
yang kedua adalah pertentangan klaim yaitu kepentingan dan perbedaan sistem
penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria di Indonesia, yang tak
berujung kepastian. Pemerintah menganggap bahwa tanah sarana ubtuk mencapai
tujuan pembangunan, seperti pabrik, sarana transportasi laut, sarana
perbelanjaan, sarana hiburan dan lain sebagainya, padahal masyarakatpun masih
awam dan tidak terbiasa dengan aturan perusahaan dan pemerintah. Sebaliknya,
masyarakatpun memiliki pendapat, bahwa
tanah adalah segala sesuatu yang diusahanakan untuk kehidupan mereka. Nasib
mereka tergantung pada tanah yang dimilikinya. Tak heran jika masyarakat gigih
mempertahankan hak milik tanah mereka. Pertentangan ini sangat terkait maka perlu
adanya kepastian oleh Pemerintah. Gagasan pembaruan agraria yang berujung pada
keadilanlah yang diinginkan oleh masyarakat, tetapi sebaliknya, di Indonesia,
konflik ini keadilan ini masih sangat lemah. Konflik Agraria di Indonesia,
muncul secara diam-diam tiba-tiba meletus ke permukaan. Contohnya kasus konflik
Agraria yang paling banyak terdapat di provinsi Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatra Utara.
Konflik yang
melanda Indonesia yang terjadi di provinsi, terutama di kawasan perkebunan,
kehutanan, pertambangan diakibatkan oleh ulah kebijakan Pemerintah yang dengan
seenak dan sewenang-wenang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan, terutama sektor
kehutanan, perkebunan, pertambangan dengan membutuhkan lahan dan skala yang
luas. Masalah terbesar yang dihadapi oleh Pemerintah hingga saat ini adalah
perluasan hutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan adat istiadat, lokal,
serta kelangsungan ekosistem dan lingkungan berkelanjutan. Contohnya yaitu
perampasan tanah ulayat milik masyarakat Tanjumg Medang oleh pengusaha di Muara
Enim dan pembabatan hutan Kemenyan milik Kemenyan Humbahas oleh PT Toba Pulp
Lestari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. hal ini tak hanya
ekosistem, adat istiadat yang dirampas saja, tetapi sudah termasuk ke dalam
kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah seenaknya tidak
menggunakan prinsip persetujuan dini tanpa paksaan atau mekanisme seperti Free,
Prior, and Informed Consent (FPIC). Padahal sebelumnya, masyarakatlah yang
sejak awal membuka hutan, mendiami lahan-lahan garapan mereka atau tanah-tanah
ulayat. Bahkan, terdapat banyak kasus berdarah karena perebutan persengketaan tanah
ini, contohnya di Kabupaten Bengkalis dan Sumba Timur. Sebanyak 200 orang
ditangkap dalam sebuah sweeping yang mencekam dan berdarah. Ada juga
kasus-kasus yang diwarnai dengan bentrokan. Bentrokan ini seringkali terjadi
antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun dengan aparat
kepolisian. Sweeping dilakukan besar-besaran oleh aparat kepolisian dengan
tujuan penangkapan, mendapatkan perlawanan dari warga, dan berakhir dengan
penembakan berdarah dan penganiayaan yang sangat melanggar HAM dan sangat tak
manusiawi. Konflik agraria yang terjadi terus menerus meluas karena Pemerintah
memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan, dan konflik agraria ini terjadi
ini pun tidak segera ditangani oleh Pemerintah, masyarakatlah yang menjadi
korban.
Penanganan oleh
Pemerintah untuk menanggulangi konflik Agraria cenderung pasif, pemerintah justru
kepada aparat kepolisian dan masyarakat. Pemerintah bersama aparat penegak
hukumnya, serta perusahaan, pemimpin kampung setempat, justru melakukan
pelanggaran HAM, yaitu menggunakan modus politik money. Mereka menggunakan
politik ini untuk menutupi konflik agar ‘seakan-akan’ konflik selesai.
Konflik ini akan
terus terjadi dan mewarisi negara kita jika pemerintah tidak melakukan tindakan
tegas, yakni antara lain :
1)
Memonitori
atau membatasi perijinan untuk perusahaan di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan,
dan pesisir.
2)
Pemerintah
secara tegas menghentikan penanganan konflik dengan bentuk kekerasan.
3)
Pemerintah
membentuk lembaga-lembaga untuk menangani penyelesaian Konflik Agraria.
4)
Pemerintah
melakukan pencabutan atau pembatalan perizinan jika ada perusahaan yang ingin
menyerobot tanah, mengambil sewenang-wenang hutan, atau pelanggaran-pelanggaran
HAM untuk merebut dan mendirikan perusahaan di berbagai wilayah.
5)
Pemerintah
melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan di bidang SDA (Sumber
Daya Alam).
6)
Pemerintah
mengembalikan hasil rampasan perusahaan kepada pmasyarakat sebagai pemiliknya. Hal
ini didasarkan dalam TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keterkaitan Potret Konflik Agraria di Indonesia dengan Teori-teori
Konflik antara Pemerintah dengan masyarakat karena perbedaan
kepentingan pengelolaan tanah sudah mewarnai dan memberikan corak khas
tersendiri bagi lembaran sejarah Indonesia, khususnya dalam sektor agraria. Menurut
saya, fenomena konflik yang terjadi di Indonesia menurut paparan yang
dikemukakan oleh Widianto sesuai dengan Teori Konflik yang dikemukakan oleh
Karl Mark, bahwa semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya
ketidakserasian atau kesenjangan terkait sumber-sumber agraria yang tidak lain
adalah Sumber Daya Alam. Dalam memahami konflik agraria, Karl Mark mengatakan,
bahwa kunci utamanya adalah kesadaran kita bahwa tanah atau Sumber Daya Alam
merupakan hal yang melandasi semua aspek kehidupan manusia. Pendapat Karl Mark
sangat sesuai dengan tulisam yang dipaparkan dalam jurnal Widianto. Ia
menyatakan bahwa lahirnya konflik-konflik agraria dibidang kehutanan, disebabkan
adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah, dan kekayaan alam lainnya. Konflik
agraria di Indonesia, mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan
bagi masyarakat yang mengandalkan nasib hidupnya dari tanah dan kekayaan alam. Mereka
menganggap, pemerintah tidak adil dalam mengelola tanah. Pemerintah
sewenang-wenang memberikan izin kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan
mereka dan merampas hak milik tanah yang notabene tanah adalah jiwa masyarakat.
Tanpa tanah, masyarakat tak bisa hidup, tak bisa bekerja memenuhi kebutuhan,
dan dengan dirampasnya tanah, akan mengurangi tingkat pendapatan mereka. Pada
sisi lain, masyarakat yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima keadilan
akibat kebijakan pemerintah tersebut, kemudian mendorong semangat mereka untuk
melakukan perlawanan. Menurut Widianto, konflik ini juga melanda pada masyarakat
adat yang mempertahankan sumber penghidupannya melalui perusahaan pertambangan,
perkebunan atau perusahaan perkayuan. Berbagai
konflik-konflik yang terjadi di Indonesia selalu disertai dengan kekerasan, penyiksaan,
bahkan pembunuhan. Konflik yang terjadi di Indonesia ini akan menimbulkan pecah
belahnya rasa kesatuan pada rakyatnya. Konflik semacam ini, di sebut dengan
konflik dekstuktif.
Karl Mark menambahkan, konflik agraria terjadi akibat perkembangan
ekonomi kapitalis, yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya. Konflik
agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah, atau tanahnya
yang dirampas oleh kapitalis atau mereka yang mempunyai modal. Hal ini sangat
tepat dan benar apa yang kemukakan oleh Widianto, bahwa dengan kebijakan
pemerintah yang seenaknya sendiri, yang dengan seenaknya menyerobot tanah milik
masyarakat, apalagi Pemerintah juga bekerja sama dengan pemimpin kampung,
aparat hukum, pengusaha untuk menjalankan politik money agar masyarakat mau untuk
menyerahkan tanahnya. Selain itu, bila masyarakat tidak mau untuk menyerahkan
tanahnya, aparat hukum secara paksa akan meminta tanah tersebut dengan tindakan
kekerasan, yaitu dengan penembakan atau pembunuhan. Hal yang dilakukan aparat
hukum ini sangat tidak manusiawi.
Dalam teori Pluralisme hukum, memandang konflik agaria terjadi
akibat adanya lebih, dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh
berbagai pihak terutama hukum adat dan hukum negara. Teori ini lebih menekankan
bahwa timbulnya konflik agaria akibat adanya pertentangan pemberlakukan dua
hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan hukum adat pada sisi lainnya. Sebagai
contoh pada kasus-kasus tertentu adanya konflik-konflik lahan dan Sumber Daya Alam
yang melibatkan masyarakat adat dan negara. Negara dalam kapasitas sebagai
pemegang dan pembuat berbagai kebijakan hukum. Contohnya seperti yang diuraikan
oleh Widianto, sebanyak 700 penduduk di Kabupaten Aceh Timur, tanah miliknya
disengketa oleh PT. Bumi Flora. Sebanyak 700 warga menunggu kepastian verifikasi
tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka.
Teori lainnya yang mendukung pemaparan dari Widianto, yaitu teori
kebijakan. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya
kebijakan tertentu dari negara, seperti kebijakan pembangunan. Dengan adanya
kebijakan pembangunan tersebut, maka otomatis segala potensi atau sumber daya
yang ada termasuk agraria, dan alam menjadi salah satu objek yang menjadi
pertaruhan, guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya sebagai modal pembangunan.
Kondisi ini membawa akibat munculnya bentuk-bentuk kapitalisme baru, yang
mengerogoti lahan-lahan mata pencarian rakyat. Dan kadang menjadikan mereka atau rakyat sebagai korban
yang terusir dari tanahnya akibat kebijakan-kebijkan konsesi bagi pemliki modal
besar atau investor, dalam penguasaan dan pengelolaan agraria dan Sumber Daya
Alam. Seperti yang di kemukakan oleh Widianto dalam kasus Cinta Manis di
Sumatera Selatan. PTPN sangat berperan sebagai produsen komoditas andalan
nasional, seperti gula dan kopi. Tak heran Menteri Negara Urusan Badan Usaha
Milik Negara (Menneg BUMN), Dahlan Iskan, yang membawahi PTPN, membela luasan
wilayah PTPN ketika meletupnya kasus di Sumatra Selatan. Masyarakat merasa
khawatir, jika tanah mereka di serobot oleh pihak swasta dan kehilangan
pekerjaan mereka. Instalasi atau pihak lain yang mendukung penyerebotan lahan
ini yaitu TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang bekerjasama dengan
perusahaan swasta.
Jadi, konflik-konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan adanya
ketimpangan sosial yang terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah
menganggap tanah adalah sarana untuk menjadi pembangunan industri dan
masyarakat harus patuh apa yang sudah menjadi kebijakan Pemerintah, namun
sebaliknya, menurut perspektif masyarakat tanah adalah sesuatu yang diusahakan
untuk kehidupan mereka. Mereka tidak mau menurut dengan kebijakan Pemerintah,
karena tanah atau lahan mereka adalah jiwa mereka. Dengan adanya kondisi yang
seperti ini, konflikpun tak terelakkan. Jika pemerintah terus-menerus
membiarkan perusahaan terus menggusur tanah milik masyarakat untuk dijadikan
pembangunan, konflik agraria tidak akan berakhir. Oleh sebab itu, Pemerintah
secara tegas harus memberlakukan keadilan seadil-adilnya kepada rakyat, dan
membatasi perizinan kepada perusahaan untuk mendirikan usahanya di lahan milik
masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar